KEBENCIAN
Menjadi korban kemarahanku disaat aku tak suka dengan mereka
Seharusnya aku membenci mereka saja, bukan dia
Dia hanya seseorang yang dekat dengan ku
Kebencian yang tak kunjung padam.
Entah sampai kapan aku akan terus-terusan merasa benci kepada dia dan
teman-temannya. Setiap kali aku melihatnya, rasanya ingin ku tampar dia dengan
kata-kataku. Apa yang membuat aku begitu benci kepadanya? Otak pintar? Aku rasa
tidak. Aku bukan tipe orang yang mudah membenci seseorang hanya karena ia lebih
pintar dariku. Aku pernah menjadi orang terpintar di kelas semasa sekolahku
dulu. Jadi soal kepintaran itu bisa diraih dengan usaha yang kuat. Dan pintar
bukanlah musuhku, ia adalah temanku, teman baikku. Dan memusuhi orang pintar
bukanlah kepribadianku.
Satu-satunya yang tidak ku suka dari
dia adalah dia telah menertawaiku sewaktu aku bertanya kepada dosenku sekitar 1
bulan yang lalu. Bagaikan pedang yang menghunus hati, rasa sakit itu sepertinya
tidak akan pernah kunjung padam sebelum aku membalaskan dendamku kepadanya.
Sebenarnya aku tidak tau apa definisi dendam, namun yang aku tahu bahwa disaat
seseorang marah kepada orang lain kemudian ia ingin memberikan pelajaran kepada
orang tersebut maka itu disebut dendam. Seperti itulah aku dengan segala
emosiku. Aku bukanlah pecundang yang mau diremehkan begitu saja dengan orang
yang tidak lebih tinggi daripadaku apalagi dia hanya teman sekelas. Aku bahkan
meragukan kepintarannya karena kepintaran akan mendatangkan akhlak yang mulia.
Satu bulan yang lalu …
Kala itu sedang berlangsung pelajaran ilmu dilalah yang dibimbing
oleh Pak Irfan Abu Bakar. Jika saya tidak salah ingat saat itu kami membahas
tentang konsep dilalah dari seorang tokoh terkenal bernama Ibnu Faris. Pak
Irfan menjelaskan 3 contoh kalimat yang terdiri dari sejumlah kata yang sama
namun memiliki susunan yang berbeda. Aku merasa excited dengan
penjelasan pak Irfan karena beliau menjelaskan dengan penjelasan yang clear.
Dampak dari itu, aku menjadi semangat untuk mengikuti diskusi tersebut hingga
akhirnya aku bertanya kepada beliau sebanyak dua pertanyaan. Pertanyaan pertama
berjalan mulus aku utarakan kepada beliau. Namun, disaat saya ingin bertanya pertanyaan
yang kedua, dari arah duduk bagian perempuan terdengar suara tertawa yang
sangat jelas. Dan saat itu aku pun disentuh dari belakang, ia bilang “jangan
bertanya terus, waktu sudah habis”. Aku pun meminta maaf ke arah belakang,
tetapi di dalam hati timbul perasaan kesal karena mendengar suara tertawa
apalagi secara rombongan. Jujur aku merasa dilecehkan disitu. Aku pun
mendengar dari seseorang tentang beberapa nama yang ikut tertawa keras saat
itu. Dan akhirnya sampai sekarang pun aku masih tidak menyukai mereka. Aku selalu ingin menunjukkan kepada mereka betapa kesalnya aku dengan ulah mereka
tersebut. Tapi ya lagi-lagi seseorang tidak akan merasa dirinya salah sebelum
mendapat teguran dari orang lain, apalagi jika ia melakukan hal yang tidak
terpuji itu secara berombongan. Ia tak akan pernah sadar bahwa ia telah melukai
hati seseorang tanpa disengaja.
(Zakiyah Palaloi)