Selasa, 26 Juli 2022

Freechild itu pilihan bukan kewajiban

         Akhir-akhir ini media sosial digemparkan dengan istilah baru "childfree". Istilah ini merupakan sebuah pandangan atau orientasi seseorang untuk tidak memiliki anak di masa depannya. Tentu hal ini merupakan hal yang baru khususnya bagi budaya Indonesia. Di Indonesia sendiri, isu tidak memiliki anak  sudah lama terdengar tetapi kebanyakan dari mereka yang tidak memiliki anak itu "tidak menginginkan" hal tersebut terjadi. Mereka sebagai seorang perempuan, apalagi sudah menikah, pasti menginginkan kehadiran seorang anak yang bisa menghiasi rumah tangga mereka. Lain halnya dengan orang yang menginginkan  childfree, mereka menginginkan untuk tidak memiliki anak. 

Isu ini benar-benar memberikan tamparan keras kepada kita untuk lebih berintropeksi dalam menilai perempuan (dalam kaitannya dengan anak). Hal terpenting adalah jangan sampai kita sebagai manusia, merendahkan seorang perempuan yang tidak mampu hamil, apalagi jika sebenarnya ia sangat ingin memiliki anak. Namun, karena Allah SWT memberikannya dia takdir seperti itu, insyaAllah akan banyak hikmah dari kejadian yang diberikanNya. Salah satunya, tanpa disadari, perempuan/pasangan yang tidak ditakdirkan untuk memiliki anak telah menyadarkan para pasangan yang memiliki anak dan suka mengeluh terhadap perilaku anaknya. Karena mereka, para pasangan itu menjadi lebih memerhatikan dan merawat anak mereka dengan lebih baik lagi.

Adapun terkait perempuan-perempuan yang tidak mau memiliki anak, mereka mengemukakan beberapa alasan:

Pertama, menganggap bahwa memiliki anak adalah sebuah pilihan, bukan kewajiban.[1] Ya, hal ini benar dan sangat benar, bahkan dari pemikiran inilah bisa menyadarkan para orang tua di luar sana bahwa apapun yang terjadi dengan menantu perempuan, perempuan adalah perempuan, perempuan adalah manusia, bukan tempat hinaan walaupun ia tidak memiliki anak. Ada atau tidaknya anak, mereka tetap perempuan, tetap manusia yang harus diperlakukan selayaknya manusia. Ada anak harus disyukuri, tidak punya anak jangan dihina.

 

Kedua, kondisi medis yang tidak meyakinkan. [2]  

 

Ketiga, karir yang memuaskan.[3] Mereka merasa bahwa ada hal lain yang lebih penting yang harus mereka perjuangkan dibanding dengan mengurusi perihal anak. Jika memiliki anak, semua yang didapatinya saat ini akan hilang lebur menjadi debu. Yang tadinya karirnya sedang melesat di kantor berkat kualitas yang dia miliki, ketika dia izin cuti untuk melahirkan dan mengurusi anaknya selama 3 bulan, semua pencapaiannya akan disingkirkan dan dipandang sebelah mata oleh pimpinan.

Seorang perempuan yang bekerja memiliki keterikatan dengan perusahaannya. Mereka dituntut untuk ada di kantor hingga berjam-jam. Seorang anak membutuhkan hal yang sama dari ibunya, mereka membutuhkan adanya waktu dari sang ibu untuk merawat mereka. Pada akhirnya, tuntutan dari pekerjaan dan tuntutan sebagai ibu menjadi bom yang siap meletus kapan saja. Perempuan karier adalah perempuan yang sangat sulit membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga.

Belum lagi terfikirkan kalau anak itu kian tumbuh, harus mengantarnya ke sekolah kemudian menjemputnya lagi atau harus menyiapkan bekal paginya setiap hari ditambah dengan menyiapkan seragam sekolah. Dia berfikir bahwa betapa merepotkannya memiliki anak. Bukannya untung malah buntung. (ini pemikiran dari sisi ekonomi). 

 

Keempat, mereka merasa tidak mampu dalam merawat dan mengasuh anak.[4]  Memang, aktivitas merawat anak memerlukan kesabaran yang tinggi. Kita akan memasuki dimensi yang berbeda ketika memiliki anak. 24 jam rasanya tidak cukup untuk mengurusi semua kebutuhan mereka, ditambah kebutuhan suami dan juga kebutuhan pribadi. 

 

Dari keempat alasan yang diutarakan di atas, yang paling dapat dimaafkan adalah alasan kedua yaitu alasan medis. Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa orang dulu tidak memiliki anak karena mereka tidak mampu, bukan karena mereka tidak mau. Dan kebanyakan dari mereka mengalami kondisi kesehatan yang tidak baik.

Bagi saya childfree hanya boleh dilakukan  untuk pasangan yang memang benar-benar tidak bisa memiliki anak terutama ditinjau dari segi kesehatan karena ada hal yang menghalangi mereka untuk memiliki anak. Saya tidak mendukung para pasangan yang memiliki kemampuan untuk memiliki anak, namun malah memutuskan untuk tidak memiliki anak. Pandangan ini saya landasi karena saya sering bertemu dengan teman perempuan, sudah menikah, dan mereka sangat ingin memiliki anak tetapi belum bisa untuk memilikinya. Dari situlah saya berfikir, alangkah betapa tidak bersyukurnya seorang manusia yang diberi kelebihan untuk mengandung seorang anak di dalam rahimnya tetapi ia tidak menggunakan kesempatan itu dengan baik. Kelebihan itu sesungguhnya adalah keajaiban yang belum tentu dimiliki oleh semua perempuan sekalipun perempuan itu memiliki harta yang berlimpah. Rahim perempuan adalah salah satu tanda kasih sayangNya Tuhan kepada perempuan.

Jikalau suatu pasangan tidak sanggup merawat anak, bukan rahimnya yang disia-siakan, namun hatinya yang dibuka untuk mencari tahu bagaimana cara merawat anak yang baik. Setiap kegiatan ada caranya. Mau bisa masak, berarti harus mencari tahu bagaimana caranya memasak. Punya anak, berarti harus tahu bagaimana caranya merawat anak. Banyak buku di perpustakaan yang bisa kita baca untuk mengetahui semua itu. Setelah membaca, seseorang akan memiliki pandangan lain, mereka akan memiliki seribu cara untuk menyelesaikan setiap urusan yang ada di hidupnya.

Rasanya aneh, jika ada seseorang yang memiliki visi untuk mengubah dunia, untuk berbuat kebaikan tapi dengan sesama manusia saja dia tidak bisa memberikan kesejahteraan. Kita ini manusia dewasa yang dulunya menjadi seorang bayi. Setiap manusia tidak mungkin tiba ke bumi langsung dalam usia 25 tahun. Setiap manusia, dilahirkan, dirawat oleh keluarganya, diberikan kasih sayang hingga tumbuh besar. Merawat anak adalah sumber kesabaran terbesar. Seseorang yang tidak mau memiliki anak, sama saja dia tidak mau melatih sifat sabar yang ada di dalam dirinya. Di zaman ini, manusia semakin dimanjakan oleh teknologi, sehingga sifat-sifat kemanusiaan yang baik semakin terkikis. Manusia semakin ingin menyamai dirinya dengan kecanggihan teknologi, bukan sebaliknya. Hal inilah yang menjadikan manusia kehilangan sifat-sifat manusiawinya.

Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kepedulian saya dengan sesama perempuan. Karena saya perempuan, maka saya harus peduli dengan sesama perempuan.

 

Referensi:

Khasanah, Uswatul. 2021. “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember.



[1] Uswatul Khasanah, “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember 2021, h. 106.

[2] Uswatul Khasanah, “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember 2021, h. 106.

[3] Uswatul Khasanah, “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember 2021, h. 106.

[4] Uswatul Khasanah, “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember 2021, h. 106.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lirik Lagu Langit senja - soundtrack series "Jingga dan Senja" - Yoriko Angelina

Reff: Hangatnya... Senja terus Memeluk... Manis mentari Meredup... Langit jingga kan terus temani Kenang cinta... slamanya Lanunan senja mel...