Akhir-akhir ini media sosial digemparkan dengan istilah baru
"childfree". Istilah ini merupakan sebuah pandangan atau orientasi
seseorang untuk tidak memiliki anak di masa depannya. Tentu hal ini merupakan
hal yang baru khususnya bagi budaya Indonesia. Di Indonesia sendiri, isu tidak
memiliki anak sudah lama terdengar tetapi kebanyakan dari mereka yang
tidak memiliki anak itu "tidak menginginkan" hal tersebut terjadi.
Mereka sebagai seorang perempuan, apalagi sudah menikah, pasti menginginkan kehadiran
seorang anak yang bisa menghiasi rumah tangga mereka. Lain halnya dengan
orang yang menginginkan childfree, mereka menginginkan untuk tidak
memiliki anak.
Isu ini benar-benar memberikan tamparan
keras kepada kita untuk lebih berintropeksi dalam menilai perempuan (dalam
kaitannya dengan anak). Hal terpenting adalah jangan sampai kita sebagai
manusia, merendahkan seorang perempuan yang tidak mampu hamil, apalagi jika
sebenarnya ia sangat ingin memiliki anak. Namun, karena Allah SWT memberikannya
dia takdir seperti itu, insyaAllah akan banyak hikmah dari kejadian yang
diberikanNya. Salah satunya, tanpa disadari, perempuan/pasangan yang tidak
ditakdirkan untuk memiliki anak telah menyadarkan para pasangan yang memiliki
anak dan suka mengeluh terhadap perilaku anaknya. Karena mereka, para pasangan
itu menjadi lebih memerhatikan dan merawat anak mereka dengan lebih baik lagi.
Adapun terkait perempuan-perempuan yang
tidak mau memiliki anak, mereka mengemukakan beberapa alasan:
Pertama, menganggap bahwa memiliki anak
adalah sebuah pilihan, bukan kewajiban.[1] Ya, hal ini benar dan
sangat benar, bahkan dari pemikiran inilah bisa menyadarkan para orang tua di
luar sana bahwa apapun yang terjadi dengan menantu perempuan, perempuan adalah
perempuan, perempuan adalah manusia, bukan tempat hinaan walaupun ia tidak
memiliki anak. Ada atau tidaknya anak, mereka tetap perempuan, tetap manusia
yang harus diperlakukan selayaknya manusia. Ada anak harus disyukuri, tidak
punya anak jangan dihina.
Kedua, kondisi medis yang tidak meyakinkan. [2]
Ketiga, karir yang memuaskan.[3] Mereka merasa bahwa ada
hal lain yang lebih penting yang harus mereka perjuangkan dibanding dengan
mengurusi perihal anak. Jika memiliki anak, semua yang didapatinya saat ini
akan hilang lebur menjadi debu. Yang tadinya karirnya sedang melesat di kantor
berkat kualitas yang dia miliki, ketika dia izin cuti untuk melahirkan dan
mengurusi anaknya selama 3 bulan, semua pencapaiannya akan disingkirkan dan
dipandang sebelah mata oleh pimpinan.
Seorang perempuan yang bekerja memiliki
keterikatan dengan perusahaannya. Mereka dituntut untuk ada di kantor hingga
berjam-jam. Seorang anak membutuhkan hal yang sama dari ibunya, mereka
membutuhkan adanya waktu dari sang ibu untuk merawat mereka. Pada akhirnya,
tuntutan dari pekerjaan dan tuntutan sebagai ibu menjadi bom yang siap meletus
kapan saja. Perempuan karier adalah perempuan yang sangat sulit membagi waktu
antara pekerjaan dan keluarga.
Belum lagi terfikirkan kalau anak itu kian
tumbuh, harus mengantarnya ke sekolah kemudian menjemputnya lagi atau harus
menyiapkan bekal paginya setiap hari ditambah dengan menyiapkan seragam
sekolah. Dia berfikir bahwa betapa merepotkannya memiliki anak. Bukannya untung
malah buntung. (ini pemikiran dari sisi ekonomi).
Keempat, mereka merasa tidak mampu dalam merawat dan mengasuh anak.[4] Memang, aktivitas merawat anak memerlukan
kesabaran yang tinggi. Kita akan memasuki dimensi yang berbeda ketika memiliki
anak. 24 jam rasanya tidak cukup untuk mengurusi semua kebutuhan mereka,
ditambah kebutuhan suami dan juga kebutuhan pribadi.
Dari keempat alasan yang diutarakan di
atas, yang paling dapat dimaafkan adalah alasan kedua yaitu alasan medis.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa orang dulu tidak memiliki anak karena
mereka tidak mampu, bukan karena mereka tidak mau. Dan kebanyakan dari mereka
mengalami kondisi kesehatan yang tidak baik.
Bagi saya childfree hanya boleh
dilakukan untuk pasangan yang memang benar-benar tidak bisa memiliki anak
terutama ditinjau dari segi kesehatan karena ada hal yang menghalangi mereka
untuk memiliki anak. Saya tidak mendukung para pasangan yang memiliki kemampuan
untuk memiliki anak, namun malah memutuskan untuk tidak memiliki anak. Pandangan
ini saya landasi karena saya sering bertemu dengan teman perempuan, sudah
menikah, dan mereka sangat ingin memiliki anak tetapi belum bisa untuk
memilikinya. Dari situlah saya berfikir, alangkah betapa tidak bersyukurnya
seorang manusia yang diberi kelebihan untuk mengandung seorang anak di dalam
rahimnya tetapi ia tidak menggunakan kesempatan itu dengan baik. Kelebihan itu
sesungguhnya adalah keajaiban yang belum tentu dimiliki oleh semua perempuan
sekalipun perempuan itu memiliki harta yang berlimpah. Rahim perempuan adalah
salah satu tanda kasih sayangNya Tuhan kepada perempuan.
Jikalau suatu pasangan tidak sanggup
merawat anak, bukan rahimnya yang disia-siakan, namun hatinya yang dibuka untuk
mencari tahu bagaimana cara merawat anak yang baik. Setiap kegiatan ada
caranya. Mau bisa masak, berarti harus mencari tahu bagaimana caranya memasak.
Punya anak, berarti harus tahu bagaimana caranya merawat anak. Banyak buku di
perpustakaan yang bisa kita baca untuk mengetahui semua itu. Setelah membaca,
seseorang akan memiliki pandangan lain, mereka akan memiliki seribu cara untuk
menyelesaikan setiap urusan yang ada di hidupnya.
Rasanya aneh, jika ada seseorang yang
memiliki visi untuk mengubah dunia, untuk berbuat kebaikan tapi dengan sesama
manusia saja dia tidak bisa memberikan kesejahteraan. Kita ini manusia dewasa
yang dulunya menjadi seorang bayi. Setiap manusia tidak mungkin tiba ke bumi langsung
dalam usia 25 tahun. Setiap manusia, dilahirkan, dirawat oleh keluarganya,
diberikan kasih sayang hingga tumbuh besar. Merawat anak adalah sumber
kesabaran terbesar. Seseorang yang tidak mau memiliki anak, sama saja dia tidak
mau melatih sifat sabar yang ada di dalam dirinya. Di zaman ini, manusia
semakin dimanjakan oleh teknologi, sehingga sifat-sifat kemanusiaan yang baik
semakin terkikis. Manusia semakin ingin menyamai dirinya dengan kecanggihan
teknologi, bukan sebaliknya. Hal inilah yang menjadikan manusia kehilangan
sifat-sifat manusiawinya.
Tulisan ini saya buat sebagai bentuk
kepedulian saya dengan sesama perempuan. Karena saya perempuan, maka saya harus
peduli dengan sesama perempuan.
Referensi:
Khasanah,
Uswatul. 2021. “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal
Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember.
[1] Uswatul
Khasanah, “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal
Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember 2021, h. 106.
[2] Uswatul
Khasanah, “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal
Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember 2021, h. 106.
[3] Uswatul
Khasanah, “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal
Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember 2021, h. 106.
[4] Uswatul
Khasanah, “Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Jurnal
Al-Syakhsiyyah, Vol. 3, No. 2 Desember 2021, h. 106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar